Pemanggilan pakar hukum tersebut untuk menjelaskan bagaimana tatanan-tatanan negara Indonesia, bagaimana menjelaskan tatanan pemerintahan dan hubungan-hubungan dan konsep negara NKRI jika dikaitkan dengan persoalan kesultanan Yogyakarta.
Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution yang diundang juga sebagai narasumber ketiga bidang hukum di Komisi II DPR RI tanggal 24 Februari 2011 lalu mengatakan bahwa ia mengusulkan agar Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta mengatur masa transisi lima tahun, dimana selama periode itu Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai kepala daerah. Selama masa transisi tersebut, dibentuk Komite Independen untuk mengkaji solusi yang tepat bagi Yogyakarta di masa mendatang setelah lima tahun berikutnya.
Mengingat sensitivitas masyarakat Yogyakarta saat ini tidak memungkinkan untuk mengambil keputusan yang drastis yang berdampak jangka panjang karena dikhawatirkan akan berpengaruh kepada daerah-daerah lain. Persoalan lain adalah sungguh tidak arif jika mengambil keputusan untuk jangka panjang sekarang dalam kondisi emosional. Kalau masyarakat Yogyakarta menginginkan penetapan, bukan berarti juga tidak ada yang tidak setuju dengan Penetapan. Pastinya ada, namun mereka tidak berani bicara.
Buyung menjelaskan masyarakat DIY saat ini sedang mengalami transformasi. Saat ini keinginan masyarakat Yogjakarta juga belum mengkristal. Karena itu sambil dilakukan penetapan maka dibentuk Komite independen untuk mempelajari, meneliti dan mengkaji secara obyektif apa sebetulnya kehendak DIY. Buyung menyarankan Komite Independen tersebut terdiri berbagai unsur dalam masyarakat seperti akademisi, pakar, budayawan serta mengikut sertakan kasultanan maupun pakualam. Hasil dari komisi Independen ini nanti akan dibawa kepemerintah dan DPR untuk bahan pengambilan keputusan bagi berikutnya,
Jadi Adnan Buyung Nasution menolak Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY versi pemerintah karena konsep gubernur utama dan gubernur provinsi bertolak belakang dengan prinsip demokrasi konstitusional maupun efisiensi pemerintahan. Konsep ini cenderung memperumit persoalan.
Buyung juga mengingatkan akan masalah budaya dan kearifin lokal jangan sampai menghambat bangsa untuk lebih maju. Nilai-nilai universal harus menjadi pedoman nomor satu, meski bukan berarti itu akan menafikan nilai-nilai lokal yang baik. Namun kita juga harus obyektif bahwa tidak semua nilai-nilai lokal itu dapat memberikan manfaat atau dampak yang baik bagi perkembangan suatu bangsa. [Sekarwati, M.Si]
Follow Me !