1) Sultan berpolitik? Sultan ingin kejelasan status hak politiknya. Apakah sebagai sultan ia tidak boleh jadi angggota parpol? di mana batasnya, bagaimana dengan ormas? Pertanyaan Sultan ini terkait dengan permintaan anggota komisi II dari fraksi demokrat agar sultan tidak berpolitik, partai politik tertentu maupun nasdem. Menurut sultan, Nasdem kan cuma ormas.
Apakah masuk ormas juga tidak boleh? Meski sultan berasal dari satu partai, namun menurut Sultan selama ini ia sudah membuktikan untuk selalu mampu berkomunikasi dengan semua parpol yang ada.
2) Pemilihan atau penetapan? Sultan minta tolong untuk dipahami posisinya sebagai sultan Yogyakarta. Bahwa penentuan penetapan atau pemilihan bukan ada pada wewenang sultan tapi ada pada rakyat. Jadi jangan tanya sultan tapi tanya pada rakyat Yogya.
Persoalan lain, mengapa ada istilah pemilihan dan kenapa penetapan, pada akhirnya jadi perdebatan panjang dan pembelahan pendapat di masyarakat. Mengapa tidak digunakan istilah lainnya saja, yang memiliki arti yang sama namun tidak mendikotonomikan.
3) Berintegrasi, bukan menyerahkan. Amanat sri sultan IX dan paku alam: Yogyakarta adalah sebuah negara sendiri, yang bersifat kerajaan. Tidak pernh ada kalimat penyerahan hanya ber-integrasi kepada NKRI. Pada waktu itu, dijawab oleh negara(soekarno) bahwa Yogyakarta memiliki keistimewaannya, dan jabatan gubernur dan wakil gubernur melekat pada sultan dan paku alam dan keduanya masih memegang dan bisa menggunakan kekuasannya.
Artinya pada saat itu, adalah momentum bertemuanya dua negara, yang satu kerajaan yang satu RI.
Itulah kondisi yang terjadi di tahun 1945.
Sultan menekankan sekali soal berintegrasi, dan bukan menyerahkan.
4) Sultan juga memberi pernyataan untuk tidak menyamakan Jogya dengan kerajaan lainnya karena di Yogyakarta, inti kekuasaan Sultan harus dijalankan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.
Dan di kerajaan yogya, setiap sultan boleh melakukan perubahan. Jadi Yogya turut tumbuh kembang bersama masyarakat.
5) Monarki konstitusional? Menanggapi masalah apakah Sultan dan Paku alam mengikuti dan tunduk pada prosedur ketatanegaraan Indonesia, menurut Sultan pengalaman selama dua kali periode jabatannya sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur melalui proses yg berlaku di NKRI krn ada SK dari presiden Habibie dan Megawati. Jika demikian, Yogyakarta tentu bukan monarki konstitusional, karena tidak pernah membuat dan mengatur dirinya sendiri sehingga berbeda dengan daerah lain. Sultan dan Paku Alam masih menjalankan kebijakan-kebijakan pusat sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
6) Imunitas hukum? Menjawab pertanyaan beberapa kalangan bahwa bagaimana jika keluarga sultan maupun paku alam bermasalah secara hukum? Apakah ada perasaan tidak enak euweh pakewuh dari jajaran penegak hukum untuk memproses? Menurut Sultan, selama ini baik dirinya maupun keluarga besarnya tidak merasa dan tidak meminta untuk diberi keistimewaan kebal hukum. Begitu dilantik maka Sultan terkena kewajiban dan hak sama di depan hukum. Seharusnya sebagai negara hukum memang seperti itu. Dan selama ini sultan tidak merasa ia dan keluarganya punya priviledge kebal hukum, jd sultan agak aneh ketika di RUUK DIY dinyatakan sultan punya hak imunitas.
Sultan dan jajarannya tunduk pada UU.
7)Demokrasi lokal? Menurut Sultan demokrasi adalah alat bukan tujuan, jadi sangat mungkin jika kita mendengar istiilah demokrasi ala Cina, ala India, dan sebagainya, karena masing-masing, termasuk demokrasi ala Indonesia, atau demokrasi ala yogya, disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
8) Tentang kekhawatiran adanya konflik atau benturan antara sultan dan rakyat? Menurut Sultan sungguh tidak mungkin karena Sultan mengabdi untuk rakyat. Kalau sampai terjadi benturan itu maka hal itu berarti sebodoh-bodohnya sultannya.
9) Kecukupan umur pengganti sultan. Mengenai hal ini sultan menyatakan sebaiknya menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme internal keraton. Presiden bisa memutuskan dengan mendengarkan usulan atau pendapat dari keluarga keraton.
Follow Me !